Jumat, 25 November 2011

Inilah Penolakan Atas Pembangunan Masjid Nur Musafir di Kupang

Kupang (voa-islam) – Mereka yang mengatasnamakan warga kelurahan Batuplat menyatakan penyesalannya atas kebijakan Walikota Kupang yang telah memberikan persetujuannya perihal pembangunan Masjid Nur Musafir di Kecamatan Alak, Kota Kupang.

Simon Dimu Djami, seorang tokoh Kristen di Kelurahan Batuplat menilai walikota Kupang tidak merespon aspirasinya untuk menolak pembangunan rumah ibadah (masjid) di tempat mereka berdomisili.

Tokoh Kristen itu menuding, proses pembangunan Masjid Nur Musafir di wilayahnya tidak prosedural. Ia beralasan, FKUB belum pernah mengadakan verifikasi data pendukung sehubungan dengan pembangunan masjid. FKUB juga dianggap belum pernah mengadakan dialog bersama masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pihak terkait (sesuai dengan SKB Menteri No 8 dan 9 Tahun 2006) di sekitar wilayah pembangunan masjid. Lebih dari itu, Simon menuduh kelengkapan administrasi sebagai bagan pendukung pembangunan masjid penuh dengan rekayasa. Bersamaan dengan itu, ia melampirkan surat penolakan warga Batuplat, Surat Rekomendasi Ketua DPRD, dan Surat Rekomendasi Walikota Kupang.

“Kami atas nama warga Kelurahan Batuplat menolak pembangunan masjid karena tidak prosedural,” ujar Simon, tokoh Kristen Batuplat mengada-ada.

Penolakan terhadap pembangunan Masjid Nur Musafir juga dilakukan oleh Karang Taruna Paska Kelurahan Batuplat. Dalam surat pernyataannya, Karang Taruna menyatakan ketidaksetujuannya. Kelompok pemuda Kristen ini memberi persyaratan khusus, agar ketika dalam menjalankan ibadah di masjid tidak menggunakan alat pengeras suara.

Karang Taruna juga meminta agar masjid yang dibangun tidak berkembang menjadi pesantren dan sarana lainnya. Diharapkan, pemerintah Kota Kupang memperhatikan pembangunan tempat ibadah bagi umat Kristen di kelurahan Batuplat.

Dengan arogan dan dengan nada mengancam, Karang Taruna memberi warning (peringatan) kepada Panitia Pembangunan Masjid. Ancamannya, jika dikemudian hari terjadi gesekan, konflik atau apapun yang berbau SARA, akibat dari pembangunan masjid ini, maka Karang Taruna tidak bertanggungjawab akan hal tersebut, tapi itu adalah tanggungjawab oknum/pribadi atau kelompok yang melakukan hal tersebut.

Dalam berkas surat penolakan pembangunan masjid, disebutkan masyarakat Kristen di kelurahan Batuplat menemukan adanya keganjalan data administrasi persetujuan dari masyarakat di sekitar tempat pembangunan masjid, diantaranya: tidak adanya dukungan langsung masyarakat sekitar lokasi pembangunan, belum pernah melakukan rembuk warga terkait pembangunan masjid, pemerintah Kupang tidak dapat menunjukkan bukti berupa KTP 90 orang pengguna rumah ibadat dan 60 orang warga yang bermukim di sekitar lokasi pembangunan masjid.

Pada tanggal 17 Juni 2011 pukul 10.00 wita bertempat di ruang kerja Walikota Kupang, telah terjadi pertemuan antara tokoh pemuda, lurah Batuplat dan Camat Alak. Menurut tokoh Kristen Batuplat, dalam pertemuan itu tidak menemukan titik temu. Berkali-kali, mereka menyatakan ketidaknyamanannya dengan keberadaan masjid dengan alas an proporsi umat Islam di kelurahan ini tidak mendapai quota yang ada utnuk pembangunan masjid dan tidak ada persetujuan warga di sekitar lokasi pembangunan.

“Kami atas nama masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi pembangunan Masjid Nur Musafir menolak dengan tegas pembangunan masjid tersebut, dikarenakan tidak sesuai dengan perundang-udangan yang berlaku. Maka dengarlah aspirasi kami, sebelum terjadi gesekan-gesekan yang tidak diinginkan di Kupang,” kata tokoh Kristen itu mengancam.

Kejanggalan Surat Penolakan

Menanggapi tuduhan tokoh Kristen dan Karang Taruna yang menilai pembangunan masjid tidak memenuhi prosedural, Ketua Panitia Pembangunan Masjid Nur Musafir Muhammad Amir Pattyradja kepada voa-Islam di kediamannya membantahnya. “Tuduhan, kami tidak didukung warga setempat dan tidak melengkapi administratif itu, jelas tidak benar. Kami sudah melengkapi persyaratannya.”

Harus diketahui, Walikota Kupang Drs. Daniel Adoe telah menghadiri pelatakan batu pertama di lokasi pembangunan Masjid Nur Musafir, Jl. Badak Rt. 017/Rw 007 Kelurahan Batuplat-Kecamatan Alak-Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Turut hadir para ulama, anggota DPRD, Kapolresta Kupang dan Kodim setempat.

Lebih jauh, Amir justru menemukan banyak kejanggalan terkait surat pernyataan penolakan warga (Kristen) yang jelas direkasaya, yakni tidak menyertai KTP. Besar kemungkinan surat pernyataan penolakan (dalam bentuk tandatangan) itu palsu. Jadi siapa yang sebenarnya berdusta?

Ahad kemarin (20 November 2011), sempat beredar isu akan ada pengerahan massa di lokasi pembangunan masjid. Namun, umat Islam di Batuplat tidak gentar. Mereka tetap akan membangun masjid, apapun yang terjadi. Penolak warga Kristen itu kabarnya menganggap bahwa masjid itu dibangun oleh orang Jawa (pendatang). Agar tidak salah paham, pihak panitia pembangunan masjid akan menggunakan tukangnya dari Kampung Solor yang asli NTT.

Kabar terakhir dari Kupang, Ahad lalu, pembangunan masjid berjalan lancar. “Sampai saat ini belum ada gangguan di lapangan, hanya ada dari kelompok mereka yang sempat monitoring dari luar lokasi pada malam dan siang hari. Kami masih menunggu perkembangan hari-hari kedepannya, karena mereka baru mengadakan penyebaran informasi dan pertemuan kelompok kecil,” kata Muhamad Kapitan Bella, sekretaris Panitia Pembangunan Masjid Nur Musafir.

Desastian

Bermuhasabah, Sebelum Hari Penghisaban




oleh: Ali Akbar Bin Agil

ALKISAH, suatu hari Atha As-Salami, seorang Tabi`in bermaksud menjual kain yang telah ditenunnya. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh sang penjual kain, sang penjual kain mengatakan, “Ya, Atha sesungguhnya kain yang kau tenun ini cukup bagus, tetapi sayang ada cacatnya sehingga saya tidak dapat membelinya.”

Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung lalu menangis. Melihat Atha menangis, sang penjual kain berkata, “Atha sahabatku, aku mengatakan dengan sebenarnya bahwa memang kainmu ada cacatnya sehingga aku tidak dapat membelinya, kalaulah karena sebab itu engkau menangis, maka biarkanlah aku tetap membeli kainmu dan membayarnya dengan harga yang pas.”

Tawaran itu dijawabnya, “Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis disebabkan karena kainku ada cacatnya, ketahuilah sesungguhnya yang menyebabkan aku menangis bukan karena kain itu. Aku menangis disebabkan karena aku menyangka bahwa kain yang telah kubuat selama berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya, tetapi di mata engkau sebagai ahlinya ternyata ada cacatnya.

“Begitulah aku menangis kepada Allah dikarenakan aku menyangka bahwa ibadah yang telah aku lakukan selama bertahun-tahun ini tidak ada cacatnya, tetapi mungkin di mata Allah sebagai ahli-Nya ada cacatnya, itulah yang menyebabkan aku menangis.”

Pelajaran penting dari kisah di atas adalah usaha seorang Atha` yang jeli melakukan introspeksi diri, menyadari kelemahan, dan kekurangannya. Seiring akan datangnya Tahun Baru Islam 1433 H, kita pun perlu melakukan evaluasi: sudah sejauh mana amal, ilmu, dan akhlak kita selama ini. Perasaan puas dengan apa yang telah kita kerjakan harus kita kubur dalam-dalam, sebab masih masih banyak ‘PR’ yang perlu dituntaskan.

Perputaran roda waktu meniscayakan bagi setiap manusia, lebih-lebih seorang mukmin untuk melakukan Muhasabah. Muhasabah bisa berarti melakukan introspeksi diri, evaluasi, atau koreksi atas kinerja selama ini.

Muhasabah merupakan solusi tepat untuk menyadari dan merenungi segala kebajikan maupun kebijakan bahkan kefasikan yang mungkin menyelimuti semasa hidup di tahun sebelumnya sehingga kita dapat mengukur sejauh mana keberhasilan dan kegagalan yang kita tunai.

Dalam al-Quran Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa yang dirangkai dengan persiapan menyongsong hari akhir: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hasyr: 18)

Secara jelas, ayat ini menyuruh setiap mukmin untuk memperhatikan nasibnya di akhirat kelak. Bekal apa yang telah kita siapkan agar selamat di alam yang baru itu?

Imam Turmudzi meriwayatkan hadits yang berbunyi: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt.” (HR. Imam Turmudzi)

Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Tuhan-nya.

Imam Turmudzi meriwayatkan ucapan Sayidina Umar bin Khaththab yaitu: “Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari `aradh akbar (yaumul hisab). Hisab itu hanya akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”

Sahabat Umar memahami benar urgensi dari muhasabah ini. Pada kalimat terakhir dari ungkapan di atas, beliau mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di hari akhir kelak. Beliau paham betul bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.

Oleh karena itu, ketika kita menyinggung muhasabah, maka di dalamnya ada tiga bentuk atau tiga fase muhasabah.

Pertama, muhasabah sebelum berbuat. Muhasabah pada keadaan pertama ini penting untuk dilakukan guna mengetahui apakah perbuatan yang hendak kita lakukan bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun diri orang lain. Berpikir jernih dan cerdas sebelum berbuat merupakan langkah seorang besar yang memiliki visi yang jauh ke depan. Ia bisa menimbang baik-buruk, positif-negatifnya suatu pekerjaan yang hendak ia lakoni.

Kedua, muhasabah saat melaksanakan sesuatu. Fase kedua yang perlu didaki oleh kita setelah bermuhasabah sebelum berbuat adalah melakukan introspeksi ulang di tengah perbuatan yang sedang kita jalani. Tujuannya tidak lain adalah mengontrol dan mengendalikan diri agar tidak menyimpang. Layaknya kita sebagai manusia, mungkin kita baik di awal, namun tak menjamin kita tetap berada di jalan yang semestinya manakala kita tengah dalam proses mengerjakan sesuatu. Hal ini dapat mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan pada saat melaksanakan sesuatu atau menghentikannya sama sekali.

Ketiga, muhasabah setelah melakukan suatu perbuatan. Pada fase ini, muhasabah berfungsi sebagai alat penemu kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan yang terselip di dalam melakukan sesuatu. Tujuannya jelas, kesalahan yang terjadi tidak boleh terjadi pada masa mendatang.

Ketika kita selalu memperhatikan modal, memperhitungkan keuntungan dan kerugian, bertobat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan, Insya Allah kita termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban, yaitu hari kiamat.*


Red: Cholis Akbar

Orang-orang Ikhlas di Belantara Hutan Sungai Kapuas






Allahu Akbar, Allahu Akbar Azan subuh terdengar merdu. Sejurus kemudian, satu persatu santri bergegas bangun. Mereka mengambil air wudhu di dua drum kecil yang terletak di samping asrama. Di sini tak ada kran air. Setelah itu, mereka beranjak ke mushola di lantai dua di sebuah gedung yang tak berdinding. Angin pun berhembus dari balik pepohonan yang menusuk kulit. Tapi, santri tak menghiraukannya. Dengan agak terkantuk-kantuk, santri yang berusia sekitar 5 hingga 15 tahun ini shalat qabliyah shubuh.

Muhammad Syukur, sang imam duduk di shaf belakang mengawasi santri. Matanya begitu awas mengecek satu persatu santrinya. Ia tampak sangat khawatir bila ada satu saja santrinya yang ghaib. Baginya, itu pelanggaran berat. “Sudah bangun semua, Mush?” tanyanya. “Sudah, ustadz,” jawab Musta’in salah seorang pengasuh. Setelah komplit, Syukur memberi komando: “Aqimish shalah.” Seorang santri lalu berdiri dan iqamat. Shalat subuh berlangsung khusuk.

Usai shalat, Jalil, santri SMP maju ke depan. Kali ini ia giliran membacakan hadist. Karena tak ada listrik, Jalil menggunakan senter kecil. Biasanya, setiap subuh, genset untuk mengaliri listrik hidup, tapi malam tadi tidak. “Habis bensinnya, jadi gelap-gelapan,” tutur seorang santri. Jalil, santri asal Sanggau, Kalimantan Barat ini menyorotkan lampu senternya ke sebuah buku kecil kumpulan hadist. Ia membacakan keutamaan tholabul ilmi.

“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju surga,” demikian hadist yang dibacakan Jalil. Tampak santri mendengarkan penuh khusuk. Setelah itu, Jalil memimpin zikir al-matsurat dan diteruskan dengan tilawah hingga matahari terbit.

Mereka adalah penghuni Pesantren Hidayatullah Sanggau, Kalimantan Barat. Letaknya sekitar 12 KM atau 30 menit dari pusat Kota Sanggau. Dari Pontianak, bisa mencapai sekitar 6 jam. Cukup jauh memang. Apalagi, ditambah jalan yang sebagian rusak. Pesantren ini terletak di desa Penyeladi, Kecamatan Kapuas.

Boleh dibilang, daerah ini masih terisolir. Selain dilalui Sungai Kapuas, pesantren ini dikelilingi hutan lebat. Di kanan-kiri pesantren, hanya pepohonan dan semak belukar. Bila malam tiba, suara jangkrik dan hewan hutan terdengar bak simfoni merdu. Ditambah lagi hembusan angin yang menusuk kulit. Parahnya lagi, belum ada listrik. Jadi, setiap malam, pesantren mengandalkan genset. Tak ada bensin berarti gelap-gelapan.

Adalah seorang Syukur, lelaki kelahiran Sulawesi Selatan 1974 yang berani melakukan ide “gila” itu. Ia merintisnya sekitar tahun 2009. “Ketika itu saya hanya mendapat tugas membuka Pesantren di Sanggau, Kalbar. Karena ini amanah, ya saya harus jalankan,” terangnya.

Dari Pontianak, Syukur ketika itu hanya bermodal Rp 200 ribu. Uang sebesar itu ludes hanya untuk mengontrak dan biaya hidup beberapa bulan. Selebihnya, ia pun harus berjuang sendiri. “Saya pernah setiap hari hanya makan tempe saja,” kenangnya.

Alhamdulillah, setelah beberapa kali menyosialisasikan niatanya membuat pesantren, masyarakat pun mendukungnya. Bantuan deras mengalir. Akhirnya, Syukur mendapat lahan kosong di pedalaman Kecamatan Kapuas sekitar 3 hektar lebih. “Benar-benar hutan belantara ketika itu,” ujarnya.

Lahan itu masih berupa hutan dan semak belukar. Tak ada apa-apa. Jangankan rumah, gubuk reot pun tak ada. Apalagi makanan, harus mencari sendiri. Tapi, rintangan itu tidak menyiutkan nyali Syukur untuk berjuang. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Itulah filosofi perjuangan Syukur.

Dengan dibantu beberapa santrinya, Ramhat, Mustha’in, dan Yusuf, Syukur mulai membuka hutan. Pertama yang mereka buat adalah gubuk. Ia membuat gubuk dengan dinding daun rumbia dan atap seng. Jika musim hujan, air pun masuk ke dalam dari balik bilik daun rumbia. Setiap hari, Syukur dan santrinya membabat hutan. Ditebanginya pohon dan ditebasnya semak belukar. “Tangan ini sudah kapalan,” ujarnya.

Bila malam tiba, suasana gelap. Gubuk hanya diterangi lampu teplok. Terkadang mati bila tertiup angin kencang. Tapi, mereka tampaknya tak takut gelap, apalagi hantu. “Hantu malah yang takut kita,” selorohnya sedikit bergurau. Hanya ada babi yang setiap malam datang dan menghabisi singkong yang ditanam.

Usai terang, lahan itu dicangkulinya hingga rata. Padahal, kondisinya berbukit-bukit, seperti gundukan kecil. Hanya bermodal cangkul saja, gundukan itu diratakannya. “Setiap kali nyangkul, saya hanya berdoa agar ini menjadi amal shaleh,” harapnya. Setelah rata, barulan dibangun rumah seadanya.

Alhamdulillah, kini telah berdiri tiga bangunan sederhana. Satu untuk santri putri dan satunya lagi yang berlantai dua -dalam proses pembangunan- khusus untuk santri putra. Jumlah santrinya ada tiga puluh orang. Mereka ada yang sekolah SD, SMP, dan SMA. Seluruh biayanya ditanggung pesantren: mulai makan, asrama hingga sekolah. “Santri tinggal belajar saja,” kata Syukur.

Para santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan Barat. Rata-rata dari keluarga tidak mampu dan yatim piatu. Ada juga sebagian yang broken home. Bahkan, hingga kini ada santri yang tak tahu di mana rimba ayahnya.

Tidak hanya itu, beberapa santrinya ada yang mualaf. Orangtuanya yang asli Suku Dayak justru menyuruh anaknya ke pesantren. Kini, mereka menjadi muslim dan belajar Islam. Meski demikian, semangat belajar mereka tinggi. Lihat saja, mereka punya cita-cita yang tinggi. “Setamat Aliyah, saya ingin ke Surabaya, kuliah di sana. Saya mau jadi kiai,” kata Adi, siswa kelas 3 Aliyah di Sanggau.

Padahal, jarak sekolah mereka jauh, lebih dari 3 KM. Jika ada motor, pengasuh akan mengantar mereka satu persatu. Tapi, bila tidak sempat, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya. Padahal, ada yang SD, masih kecil. “Saya pernah jalan kaki dari Pesantren hingga ke sekolah di Sanggau. Entah berapa jam lamanya,” kata Mustha’in yang kini jadi pengasuh.

Setiap hari, selain membina santri, Musthai’n bertugas mengantar santri-santrinya. Selain itu, ia dibantu Rahmat, ustadz asal Purwokerto, Jawa Tengah, bertugas menjual majalah dan menghimpun bantuan dari kota.

“Inilah yang bisa kami perbuat untuk Islam. Kita tak mengharapakn apa-apa, hanya ridha Allah SWT,” terang Syukur.

Syukur berharap, apa yang diperjuangkannya itu, kelak menuai hasil. Paling tidak, dari pesantren itu, akan lahir generasi Islam yang handal. Ia sendiri tak berharap banyak di dunia ini. “Kelak, di akhirat, pesantren inilah yang akan saya hadiahkan kepada Allah. ‘Allah, inilah karya saya,’” ujarnya.*

Rep: Syaiful Anshor
Red: Cholis Akbar

Amal Sholeh, Cara Cerdas Raih Khusnul Khotimah




SIAPA yang tidak ingin hidup bahagia di dunia dan selamat di akhirat? Semua orang pasti mendambakannya. Tak hanya orang beriman saja, bahkan orang tak beragama dan para penjahat-pun, kadang juga memilih mati dalam keadaan baik.

Lihatlah kaos-kaos menyesatkan yang sering digunakan anak-anak muda bertuliskan, “Muda Foya-foya, Tua Kaya-rya, Mati Masuk Surga”. Meski hanya sebatas kaos, sesungguhnya pesan ini telah banyak mempengaruhi jiwa dan pikiran banyak orang, terutama anak-anak muda kita.

Karena itulah, Dr Nurcholis Madjid dalam sebuah forum pernah menanggapi slogan yang sering dijadikan kaos anak-anak muda itu dengan mengatakan, “tak ada yang gratis dalam hidup. Apalagi mau masuk surga.”

Perilaku seperti itu menandakan masih banyak di antara kita yang belum memahami dengan benar arti waktu dan arti hidup yang sebentar ini.

Orang bisa bahagia luar biasa karena kesigapannya mengatur waktu, dan orang bisa menyesal luar biasa karena kelalaiannya terhadap waktu. Jadi, benarlah ungkapan pepatah Arab, bahwa “waktu adalah pedang”.

"L'uomo misura il tempo e il tempo misura l'oumo". Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, “ ujar sebuah pepatah Italia.

Sayangnya tidak setiap Muslim benar-benar mempersiapkan diri dan paham arti hidup.

Sebagian masih sebatas mengetahui kemudian lalai terhadapNya. Sebagian lain tidak lalai namun terkesan apa adanya. Padahal aksioma yang tak terbantahkan suatu saat, entah kapan, kita pasti akan menemui kematian.

Bagi orang yang beriman masih beruntung karena dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah. Tetapi bagi mereka yang kafir dan munafiq, sungguh akhirat adalah tempat yang tak pernah mereka harapkan. Sebab di akhirat mereka tak henti-henti minta ampun dan menyesal sejadi-jadinya karena gagal mengisi waktu di dunia dengan menunaikan amal-amal sholeh.

وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِي
وَلَن يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْساً إِذَا جَاء أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?"

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. 63: 10 – 11).

Tanda Surga

Untuk mengetahui apakah nanti kita akan masuk surga atau tidak, tentu tidak ada jawaban pastinya. Namun Rasulullah saw memberikan pedoman bagi umat Islam bagaimana cerdas mengelola waktu, sehingga bisa mengenali tanda-tanda seorang Muslim mendapatkan surga.

Satu tanda bahwa seorang Muslim akan masuk surga ialah meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Artinya seorang Muslim meninggal dalam keadaan baik (ibadah kepada Allah).

Bisa dalam keadaan mendirikan sholat, dzikir, menghadiri majlis ilmu, atau dalam kegiatan atau perjalanan yang diridhai Allah dan rasul-Nya.

Sebaliknya ialah su’ul khotimah. Keadaan di mana seorang Muslim meninggal dalam keadaan tidak baik. Seperti; meninggal saat berjudi, berzina, mencuri, kikir, korupsi, atau sedang menjerumuskan diri dalam berbagai bentuk kemaksiatan dan kedholiman.

Dalam sejarahnya, tak satu pun manusia yang bisa mengetahui apakah dirinya bisa mati dalam keadaan khusnul khotimah atau su’ul khotimah. Hal ini tiada lain agar kita, sebagai seorang Muslim, benar-benar waspada dalam pemanfaatan waktu. Jangan sampai terlena oleh gemerlap dunia, sehingga lupa akan akhirat dan kemudian mati dalam keadaan su’ul khotimah.

Prioritaskan Amal Sholeh

Dalam sebuah hadis rasulullah saw bersabda, “Orang yang cerdas ialah orang yang menahan hawa nafsunya dan berbuat (amal sholeh) untuk (bekal) kehidupan setelah mati.” (HR. Turmudzi).

Mengapa kriteria orang cerdas dalam Islam seperti itu? Sebab setiap manusia akan menemui kematian. Orang yang paling siap menghadapi kematian dengan memperbanyak amal sholeh jelas orang yang akan bahagia. Dan, siapa orang yang mempersiapkan dirinya untuk meraih kebahagiaan tentu ia adalah orang yang paling beruntung.

Oleh karena itu, al-Qur’an dalam sebuah ayat memberikan satu kriteria lengkap dan jelas bahwa yang dimaksud orang yang berakal (berilmu, cerdas) adalah ulul albab. Yaitu orang yang senantiasa mengisi waktunya dengan dzikir dan fikir agar mendapat keridoan-Nya. (QS. 3: 190 – 191).

Itulah orang yang memiliki keimanan yang kokoh, melakukan perbuatan-perbuatan besar, cerdas (berilmu), dan termasuk orang-orang yang diridhoi oleh Allah untuk meraih kebahagiaan dengan anugerah besar berupa akhlak yang mulia.

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ
وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ

"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS. As Saad: 45-47).

Dengan demikian jelaslah bagi kita untuk mengerti dengan sebenarnya, apakah kita termasuk orang yang cerdas atau tidak. Jika kita ingin cerdas, maka hendaklah kita mencontoh perilaku para kekasih Allah (Nabi dan Rasul). Yaitu senantiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, beramal sholeh, dan berorientasi terhadap kehidupan akhirat. Itulah perkara besar yang harus diutamakan, bukan yang lain.

Langkah tersebut akan memberikan dampak positif luar biasa, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, yang tidak cerdas akan mengalami penyesalan luar biasa.

حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

"(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) . Maksudnya: orang-orang kafir di waktu menghadapi sakratil maut, minta supaya diperpanjang umur mereka, agar mereka dapat beriman.

Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan." (QS. Al-Mu’minun: 99 – 100).

Waspadai Akhir yang Buruk

Bagaimana agar kita bisa meninggal dalam keadaan khusnul khotimah? Tentu tidak ada jalan lain selain waspada dan konsisten mengisi sisa umur yang kita miliki untuk kebaikan-kebaikan dunia maupun akhirat.

Dengan kata lain kita tidak boleh terlampau santai menyikapi waktu yang kita miliki apalagi merasa umur masih cukup panjang, sehingga suka meremehkan perbuatan dosa dan bangga berbuat maksiat.

Anas ra, pernah bertutur, "Sesungguhnya, kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut kalian lebih kecil dari rambut. Padahal kami pada zaman rasulullah saw, sudah menganggapnya sebagai dosa yang membinasakan (dosa besar)." (HR. Bukhari).

Apabila hal itu terjadi maka sirnalah fungsi hati seorang Muslim. Ibn Atha’illah dalam sebuah nasehatnya menyatakan bahwa, di antara tanda matinya hati adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan tidak menyesal atas dosa yang diperbuat.

Oleh karena itu sebagai upaya waspada kita terhadap akhir yang buruk (su’ul khotimah) hendaknya setiap hari kita melakukan evaluasi terhadap keyakinan kita. Apakah keyakinan yang ada di dalam hati ini telah bersih dari titik-titik keraguan. Jika masih ada keraguan segeralah membersihkannya.

Selanjutnya ialah memeriksa tabiat diri. Apakah kita sudah terbebas dari panjang angan-angan dan gemar menyegerakan kebaikan? Sebab satu faktor utama manusia enggan beramal sholeh dikarenakan panjangnya angan-angan. Akibatnya sebagian besar malah suka menunda-nunda untuk taubat dan akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat buruk.

Jadi, mulai sekarang marilah biasakan diri untuk memperkuat iman, meneguhkan hati untuk konsisten beramal sholeh, dan waspada untuk tidak berbuat dosa. Sebab kita tidak pernah tahu kapan ajal menemui kita.

Dengan cara itulah, insya Allah kita akan tergolong manusia yang cerdas menurut nabi dan insya Allah akan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah dan mendapat keridoan-Nya, amin. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi

Keterangan: Sebuah peristiwa yang pernah terjadi di Saudi, seseorang meninggal saat beribadah dan sujud di waktu shalat


Red: Cholis Akbar

Sabtu, 12 November 2011

REVOLUSI KAUM MUSLIM INDONESIAKU (RKMI)


Organisasi RKMI (gerakan REVOLUSI KAUM MUSLIM untuk INDONESIAKU)
Didirikan pada tgl. 11 November 2011 di Bogor.
Oleh : Anton Aribowo (Abdul Wahab).

"TUMBANGKAN SISTEM KUFUR KAPITALISME, TEGAKKAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIAKU!"

Berjuang dengan segenap harta, jiwa dan raga untuk menggeser dan menumbangkan sistem Kapitalisme di Negeri Indonesiaku tercinta ini dan menggantikannya dengan sistem negara yang berlandaskan sistem Islam.

BAGI KAMI, TAK SUDI NEGARA YANG MEMILIKI UMMAT MUSLIM TERBESAR DIMUKA BUMI, AKAN TETAPI DIKENDALIKAN DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN YANG KUFUR!!!

Allah Swt. telah mewajibkan kaum Muslim untuk menyerukan dan menerapkan syariat Islam secara total. Sebab, Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari Allah Swt, diturunkan untuk seluruh manusia. Tanpa mengenal batas wilayah apalagi kondisi zaman. Hanya dengan Islam, manusia mendapatkan ridhai-Nya. Lihat (QS al-Maidah [5]: 3 dan 48)


Pendaftaran Anggota:
Perum Taman Pagelaran Blok C15/25 Ciomas Bogor 16610.
Hp: 082112 87 5335